“Hantu” Itu Bernama Perubahan Iklim


Permukaan air laut terus meningkat akibat mencairnya es di berbagai belahan bumi. Foto: Rhett A. Butler
Perubahan iklim merupakan “hantu” yang keberadaannya tidak terlihat namun dampaknya nyata.
Apakah perubahan iklim itu? Secara sederhana, perubahan iklim merupakan kondisi yang terjadi akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dan karbon dioksida (CO2) yang berimplikasi pada peningkatan permukaan air laut. Kondisi ini akan berdampak buruk pada seluruh negara yang ada di bumi, terlebih negara kepulauan seperti Indonesia. Berdasarkan laporan World Bank dan Regional and Coastal Development Centre of ITB (2007), diperkirakan, dalam 30 tahun ke depan, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam ketika peningkatan air laut mencapai 0,80 meter.
Perubahan iklim dianggap sebagai persoalan paling sulit dari seluruh permasalahan lingkungan yang dihadapai di dunia saat ini. Mengapa? Karena kontribusi terbesarnya adalah emisi karbon dioksida (CO2) yang berasal dari pembakaran batubara, minyak dan gas alam. Hasil pembakaran CO2 yang dalam setahunnya mencapai sekitar 30 miliar ton ini, akan sangat sulit dan butuh biaya mahal untuk ditangkap lalu “dibuang” dari atmosfer.
Faktor berikutnya adalah penggundulan hutan tropis yang masih berlangsung. Padahal hutan memberikan manfaat luar biasa mulai dari potensi kayu dan non-kayu, sebagai sumber air dan udara yang sejuk, hingga pengontrol banjir dan penyerap polusi. Alasan klasik mengapa penggundulan terus terjadi adalah hutan selalu dikaitkan dengan nilai ekonomi pangan, perdagangan, dan pembangunan.
Tentunya, gangguan yang terjadi terhadap iklim sangat berbahaya. ”Secara sederhana, iklim merupakan amplop yang berisi seluruh situasi lingkungan dan proses rumit kegiatan manusia,” tutur Budi Haryanto, dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, Senin (29/12/2014).
Bila amplop iklim tersebut mengalami gangguan terutama dari aktivitas manusia maka banyak dampak yang akan terjadi. Mulai dari terganggunya ketersediaan air dan  produktivitas pertanian, meningkatnya frekuensi banjir, memburuknya kualitas udara, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga gangguan mikroorganisme patogen dan vektor penular penyakit. ”Semua kerusakan lingkungan itu, ujungnya akan berdampak besar pada kesehatan manusia,” tutur Budi.
Contoh nyata dampak perubahan iklim adalah dengan meningkatnya kasus demam berdarah (DBD) karena nyamuk pembawa virus tersebut, Aedes aegypti, telah beradaptasi. Ukuran nyamuk sekarang lebih kecil dan sering menggigit. Bila sebelumnya hanya menggigit lima hari sekali, kini menjadi tiga hari sekali, yang otomatis jumlah gigitannya bertambah dua kali lipat. “Dengan ukurannya yang kecil, nyamuk akan lebih cepat terbang, cepat lapar, dan cepat berpindah tempat untuk mencari sasaran yang akan digigit, ” jelas Budi.
Begitu mengkawatirkannya dampak perubahan iklim ini, negara-negara di dunia pun sepakat untuk bersama menanganinya. Secara umum, ada tiga hal besar yang dilakukan. Pertama, mitigasi yaitu upaya pengurangan secara terukur sumber penyebab perupahan iklim terkait kegiatan manusia. Kedua, adaptasi yaitu melakukan pengurangan terukur dampak terhadap kelangsungan hidup manusia yang dengan kata lain merupakan usaha maksimal kita menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan yang terjadi. Ketiga, penderitaan yaitu jika upaya mitigasi dan adaptasi yang telah dilakukan tidak berjalan baik maka kita harus bersiap menderita akibat perubahan iklim yang terjadi.
Penampakan hutan Kalimantan dari udara. Foto: Rhett A. Butler
Jasa ekosistem
Ekosistem memiliki peran penting dalam hal menghadapi perubahan iklim. Semakin tinggi kekayaan hayati yang terkandung dalam suatu ekosistem maka ketahanan untuk menghadapi perubahan iklim dalam hal mitigasi ataupun adaptasi akan semakin kuat. Karena, jasa yang diberikan ekosistem (ecosystem services) ini tidak hanya untuk mencegah penyebaran penyakit infeksi, pengatur iklim dan kualitas udara. Akan tetapi juga menyerap karbon, mengatur kualitas air, hingga melindungi habitat dan keanekaragaman hayati yang ada.
Nurul  Winarni, peneliti dari Pusat Perubahan Iklim Universitas Indonesia, menuturkan bahwa pada tingkatan global, 70 persen hasil panen jenis-jenis makanan primer tergantung dari penyerbukan satwa. Menurut Nurul, ada beberapa jenis tanaman secara global yang sangat bergantung pada polinator (penyerbuk) di alam seperti sawit, vanila, dan markisa. Sedangkan jenis-jenis polinator alami ini ada pada burung, serangga, kupu-kupu, lebah, dan kelelawar.
Fungsi polinator ini sangat penting karena mentransfer serbuk sari antarbunga yang memungkinkan terjadinya buah. Dengan buah yang makin banyak dan berat maka akan semakin baik pula kualitasnya. “Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan penyerbukan yang dilakukan oleh lebah madu menghasilkan keuntungan per tahun hingga 14,6 miliar dollar Amerika.”
Nurul pun menjelaskan bahwa tanaman pangan berupa buah-buahan merupakan jenis yang rentan terhadap perubahan iklim. Ini dikarenakan buah-buahan memiliki siklus yang bergantung iklim dalam hal berbuah yang dampaknya akan menurunkan produktivitas.
Terkait keragaman hayati yang ada, Nurul mencontohkan Indonesia yang merupakan pusat keragaman pisang ke enam di dunia. Sementara, untuk durian, Indonesia memiliki 20 jenis durian yang 18 jenisnya ada di Kalimantan. “Namun, malah Thailand yang mengekspor durian ke Indonesia sebesar 600 juta baht per tahun atau setara 21 miliar rupiah,” ujarnya.
Perubahan iklim menunjukkan bahwa kita telah mengganggu kesetimbangan alam. Kita butuh upaya yang sangat kuat untuk menetralisir iklim bumi agar kondisinya kembali stabil. Dikarenakan bumi kita hanya satu, maka tugas kita bersama untuk merawatnya. “Salah satu cara, dengan mengurangi penggunaan karbon dan menuju low carbon emission society,” ujar Budi.
Sehingga, kata Budi, kita bisa menjawab pertanyaan sebagaimana ucapan Kirk R. Smith, Professor of Global Environmental Health University of California Berkeley.“Apa yang bisa kita wariskan kepada generasi mendatang terkait penyelamatan bumi dari serangan hantu perubahan Iklim?”
Burung-madu sangihe, merupakan burung-madu berukuran 12 cm yang hanya dapat dijumpai di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Foto: Burung Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar