Kiribati (Wikipedia) |
Atlantis konon adalah kota berperadaban maju tapi tenggelam di dasar laut. Ia muncul dalam dialog Plato, Timaeus and Critias, yang ditulis sekitar tahun 330 Sebelum Masehi. Hingga kini, keberadaan masih misterius.
Kembali ke soal Kiribati. Jurnalis independen Anna Therese Day, mengunjungi negara republik itu. Ia mampir ke Tebunginako, desa yang pernah dihuni 200 kepala rumah tangga, namun kini tenggelam beberapa meter di balik air berwarna biru toska (turquoise).
"Dulu waktu masih anak-anak kami biasa berenang di sini untuk melihat kapal lewat," jelas sang walikota, menunjuk antusias ke puing-puing bekas kampung halamannya, seperti dimuat CNN, Sabtu (6/12/2014). Menurut penduduk lokal, Tebunginako pernah menjadi pelabuhan utama di Kiribati.
Kini, yang ada di sana tinggal pohon-pohon kelapa yang berbaris di laguna. Pucuk pohonnya mengintip dari balik air -- mirip batu nisan dari sebuah peradaban yang hilang. Dulu, di pokok kelapa itu lah mereka menambatkan perahu.
Erosi pantai yang ekstrem seperti yang terjadi di Tebunginako menjadi makin biasa di Kiribati, negara yang terdiri dari 33 pulau kecil yang tersebar sepanjang 3.500.000 km persegi di dekat khatulistiwa.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau The Intergovernmental Panel on Climate Change menentapkan Kiribati sebagai satu dari 6 negara kepulauan di Pasifik yang paling terancam oleh naiknya permukaan air laut.
Akibat erosi pantai dan kontaminasi air tawar, Kiribati tak bakal layak huni pada 2050.
"Kini kami mengalami genangan menyeluruh di area yang sebelumnya tak rentan terhadap pasang surut normal," kata Andrew Teem, penasihat senior bidang perubahan iklim di Kiribati. "Kami sedang mengalami fenomena yang disebut King Tides -- pasang tinggi yang ekstrem. Sesuatu yang tak pernah ada saat saya masih kecil.
Sejumlah besar warga Kiribati kini mengungsi akibat bencana perubahan iklim, kebanyakan menuju ibukota, South Tarawa.
Saat ini, setengah populasi Kiribati berdesak-desakan di South Tarawa -- sebuah pulau kecil berbentuk bulan sabit. Membuat kota itu menjadi salah satu area paling padat di muka Bumi.
"Seperti halnya negara pulau lainnya yang berkembang, populasi kami masih sangat muda dan berkembang pesat. Makin menambah tekanan pada upaya pemenuhan kebutuhan air bersih," tambag Teem. "Perubahan iklim punya implikasi besar pada kami 'saat ini', bukan 'di masa depan' seperti negara-negara lainnya."
Bangsa Kiribati, entah kapan, harus bersiap meninggalkan Tanah Air mereka. Untuk selamanya. Tahun ini, pemerintah menyelesaikan proses pembelian tanah seluas lebih dari 5.000 hektar di Fiji. Yang kelak akan menjadi lokasi kepindahan mereka.
"Ini adalah cara terakhir. Tak ada lagi yang bisa dilakukan," kata Presiden Kiribati, Anote Tong seperti kutip dari Telegraph. "Rakyat kami harus pindah ketika pasang mencapai rumah dan desa kami."
Pak Presiden berharap rakyatnya nanti tak akan dianggap sebagai pengungsi, melainkan imigran, yang akan hidup berdampingan dengan rakyat Fiji. Kepindahan juga tak akan dilakukan sekaligus, melainkan bertahap.
Meski sudah memiliki lahan untuk pindah, bukan berarti rakyat Kiribati menyerah tanpa perlawanan. Menggugat akar permasalahan yang mereka alami, mengkampanyekan perjanjian emisi karbon yang mengikat semua negara, menuntut kompensasi dari kekuatan industri dunia yang menjadi penyebab bencana terkait iklim.
"Kami tidak bertanggungjawab atas perubahan iklim yang terjadi. Namun, kami lah yang menanggung akibatnya. Jika memang kami punya andil atas takdir ini, mungkin jalan ceritanya tak akan sama," kata Teem.
Rakyat Kiribati takut, khawatir, dan membutuhkan bantuan. Mereka yakin, pemerintah sudah berteriak lantang ke seluruh dunia, meminta pertanggungjawaban mereka yang merusak alam.
Namun, mereka masih menunggu jawaban dari dunia. Entah sampai kapan...
0 komentar:
Posting Komentar